KENDARI – Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi penghasil Nikel terbesar di Indonesia. Melansir survei Indonesia, 35% suplai nikel untuk negara berasal dari Bumi Anoa.
Namun timbul pertanyaan khalayak, apakah ini menjadi baik atau buruk bagi daerah. Pasalnya pertambangan hadir bersama dengan dampaknya, mulai dari rusaknya alam, hingga tercemarnya lingkungan.
Dalam UU Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020, perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dijelaskan, pada pasal 4 Mineral dan Batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Sudahkah kesejahteraan dari pertambangan bagi masyarakat Sultra? Belum lagi sulitnya ruang bagi pengusaha lokal untuk berinvestasi di dunia pertambangan juga menjadi pertanyaan. Benarkah?
Menjawab itu, Ketua Pengurus Besar (PB) Himpunan Pengusaha Tolaki (HIPTI), Rusmin Abdul Gani, membeberkan beberapa solusi soal polemik yang ada, saat ditemui di kediamannya, Minggu, (13/8/2023).
Rusmin memaparkan, pertambangan hari ini berdampak baik terhadap terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Tak hanya itu, hadirnya industri pertambangan di Sultra juga berdampak bagi keberlangsungan UMK yang ada di sekitar lokasi pertambangan.
“Tentu hadirnya pertambangan ini membawa hal-hal positif bagi masyarakat, namun memang ada juga yang mungkin belum dirasakan secara baik oleh masyarakat,” jelasnya.
Rusmin tidak menutup mata, soal kesejahteraan dari efek pertambangan. Menurutnya pertambangan tidak seperti komoditi pangan dan perikanan.
Ia menjelaskan, jika berbicara pertanian, perputaran belanja dari hasil yang dicapai baik di awal hingga akhir dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sedangkan tambang, perputaran belanja dari hasil pertambangan sangat sedikit yang dibelanjakan di daerah. Hal ini membuat peredaran uang di Sultra sangat sedikit dan belum mampu menutupi tingginya angka kemiskinan.
“Tambang ini bukan seperti pertanian atau perikanan yang hasilnya langsung dibelanjakan oleh masyarakat di daerah masing-masing. Ara pengusaha tambang seringkali mengedarkan uangnya di ibu Kota Jakarta. Sebab, rata-rata pengusaha tersebut tinggal di Jakarta,” bebernya.
Saat ditanyai soal regulasi yang ada, Rusmin menjawab bahwa regulasi yang ada hari ini sudah baik. Tinggal kolaborasi dari masing-masing pemangku kepentingan untuk mengeksekusi apa yang ada.
Namun, disisi lain, melihat polemik yang ada, para pengusaha lebih berhati hati dalam berinvestasi di Bumi Anoa.
Sebabnya ia memberikan tawaran solusi, yaitu dibukanya Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Ia menganggap, cara ini dapat berdampak langsung bagi masyarakat.
IPR sendiri, merupakan pengelolaan tambang yang dikelola oleh masyarakat pemilik lahan pertambangan sendiri. Namun dengan catatan, pemilik lahan mengeksplorasi lahannya dan memberikan acuan bagi negara soal apa yang dapat dihasilkan dari lokasinya tersebut.
“Contoh, masyarakat punya lahan 5 hektare, maka dia wajib mengeksplorasi lahannya. Setelah itu saat akan mengurus izin usaha masyarakat sudah punya data berapa yang dapat dihasilkan dari olahan laha tersebut,” ungkapnya.
“Buka ruangnya, masyarakat mampu jika hanya mengeksplorasi lahan tersebut,” tambahnya.
Rusmin menganggap, jika ini terlaksana, maka pemerintah atau negara memiliki data yang dapat dihasilkan dari adanya pertambangan. Itu juga akan berdampak baik bagi para pengusaha untuk berinvestasi di Sultra.
“Contoh masyarakat melaporkan hasil dari lahannya, sekian ton. Maka kewajiban masyarakat bertanggungjawab soal itu. Jika kemudian tidak sesuai maka dikenakan denda,” jelasnya.
“Masyarakat mampu. Toh masyarakat bisa memanggil koleganya. Yang masalah hari ini kan ketika kita mau masuk dalam pertambangan harus memiliki sub modal yang sangat besar,” tambahnya.
Ia berharap, ke depan IPR ini dapat menjadi solusi bagi pemerintah dan masyarakat guna menjawab soal hadirnya pertambangan bagi bumi Anoa.
“Semoga ke depan ini menjadi solusi. Harapannya pemerintah membuka keran ini agar masyarakat dapat mengelola lahannya sendiri dan pemerintah dapat memiliki data lengkap soal keuntungan yang diterima negara dari lokasi pertambangan,” pungkasnya.
Penulis: Sulthan