Minggu, November 17, 2024

Cerpen: Surat untuk Dinda

Oleh: Hendrika LW

KAMPUS Universitas Negeri adalah tempat paling bergengsi, yang kuangan-angankan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah. Jauh-jauh dari Manado, orangtua mengirim aku ke kota besar ini untuk belajar, mendulang ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekalku kelak. Di sini pula aku mengenal seorang bidadari cantik. Pujaan hati, yang menjadi spirit dan inspirasi bagi hidupku. Padanya aku bisa memahami arti sebuah cinta. Cinta yang sederhana.

Sungguh benar kata orang. Segala yang ada di alam semesta ini, tidak terjadi secara kebetulan. Itu juga yang kuyakini. Aku tidak bisa mengatur arah hidupku sendiri. Seperti perjumpaanku dengan Dinda Hayu Mayesti.

Saat itu, aku memasuki semester lima, di sebuah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Aku mengambil jurusan HI, Hubungan Internasional, karena aku ingin sekali bepergian ke luar negeri. Orangtuaku sebetulnya menghendaki aku kuliah kedokteran, tapi aku tidak suka. Sehingga mau tidak mau, orangtuaku mengalah.

Kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh UKM itu, diikuti oleh beberapa mahasiswa baru, Fakultas Farmasi. Sedang mahasiswa semester lima sebagai pendamping, termasuk aku. Selama dua minggu kami berada di desa Jatijiwo. Kami membuka perpustakaan kecil, di balai desa, dengan buku sumbangan mahasiswa. Setiap pagi kami membukanya untuk masyarakat sekitar, terutama anak- anak, agar mereka gemar membaca.

Kami tinggal di rumah Pak Yus, orangnya baik sekali. Kami, sepuluh orang tinggal di rumah besar itu.

“Kamu asli mana, Mbak?” tanyaku saat makan siang. Karena memang kami belum saling mengenal lebih dekat, hanya tahu nama dan jurusan.

“Aku asli Solo, Kak.” jawabnya ramah.

“Panggil Dinda aja, biar lebih akrab,” lanjutnya sambil meringkas piring di meja.

Pos Terkait :  Cerpen: Dewi

Hmm, gadis itu sangat menarik. Cantik, ramah, kelihatannya juga cerdas, batinku.

“Heii, ngelamun ya?” Pedro menepuk punggungku.

Empat belas hari berada di desa itu, serasa sekejap saja, teramat sangat singkat. Itu perasaanku, sih. Karena aku merasa sangat senang bersama Dinda. Ya, semoga aku tidak bertepuk sebelah tangan.

Sejak masuk kampus, aku tinggal di kost putra, yang notabene penghuninya mahasiswa luar pulau. Sedangkan Dinda, tinggal di sebuah rumah kontrakan, yang dihuni oleh beberapa mahasiswi dari Jawa, Bali dan Papua.

“Din, ada tamu, cowok cakep. Sepertinya kakak tingkat, tuh.” kata Caroline dari balik pintu kamar.

Dinda segera keluar.

“Siang Kak Sandro, gimana kabarnya?” sapanya renyah sekali.

“Siang Dinda, aku baik, gimana dengan kamu?” tanyaku balik.

“Seperti yang Kak Sandro lihat. I am fine.”

Setiap hari aku nge-chat Dinda melalui WhatsAap. Semakin hari rasanya aku semakin suka sama dia. Duh, mudah-mudahan Dinda juga suka sama aku. Dia sih selalu respon baik, tapi aku gak tahu perasaan sesungguhnya padaku.

“Din, kita nonton yuk. Hari ini filmnya bagus, lho.” aku memberanikan diri.

“Maaf ya, Kak Sandro. Aku masih banyak tugas. Deadline besuk.” katanya memupuskanku.

Aku penasaran sekali sama Dinda. Jinak-jinak merpati. Orangnya ramah, tapi sulit untuk didekati.

“Din, Sabtu gak ada kuliah, kan. Kita jalan-jalan yuk, refresh. Jangan belajar melulu.” kataku lewat telepon.

“Kak Sandro, maaf lagi ya. Sabtu aku mau pulang ke rumah.” jawabnya menghilangkan harapanku.

Hari itu aku merasa lapar sekali. Saat istirahat, aku pergi ke kantin di luar kompleks kampus. Kulihat Dinda dan beberapa temannya duduk-duduk di bawah pohon, dekat parkiran. Aku menghampirinya.

Pos Terkait :  Cerpen: Arina

“Hai Din, ke kantin sama-sama, yuk.” ajakku.

Dinda menoleh ke arah Caroline, yang ada di sampingnya.

“Ehm, ehm, sudah Din, pergi sana.” katanya

Sejak saat itu, hubunganku dengan Dinda makin dekat.

“Happy Birthday, Kak Sandro. Bahagia selalu, ya.” dia mengejutkanku dengan sebuah coklat di tangan.

“Makasih, Sayang. Thank you, my honey.” kupeluk dia erat.

Sebuah kecupan lembut mampir di pipiku yang dingin oleh hembusan angin malam.

“Aku mau melanjutkan studyku ke Perancis. Dua tahun aku di sana. Jaga cinta kita, ya.” Berat rasa hatiku untuk pamit. Dinda pun berderai air mata.

“Hati-hati, Kak Sandro. Aku menunggumu.” jawabnya dalam pelukanku.

Semester enam berakhir. Seperti biasanya, setiap liburan Dinda pulang ke Solo. Teman-teman SMA pasti banyak yang datang ke rumahnya. Termasuk Diki Putranto, mantan pacarnya, yang bekerja di pabrik tekstil di Tangerang. Rupanya mereka CLBK, perasaan cinta yang lama putus bersambung lagi. Hubungan mereka semakin dekat. Hingga suatu ketika, Dinda hamil. Mereka lalu menikah. Dinda masih melanjutkan kuliah, hingga selesai wisuda.

Sejak peristiwa itu, Dinda tak lagi menghubungi Sandro. Dinda ganti nomor.

Sandro yang memiliki perasaan sensitif, bertanya-tanya.

“Dinda kenapa ya? Nomornya gak aktif, medsosnya juga gak aktif.”

Sedih, sangat sedih rasanya. Orang yang sangat kucintai menghilang begitu saja, tanpa berita. Bagai kapal ditelan Segitiga Bermuda. Lenyap. Aku berusaha menghubungi Caroline, teman akrabnya. Tapi dia ganti nomor juga. Ah!

Aku tak mau larut dalam kesedihan. Aku harus tetap survive di negara bermata uang Euro itu. Studiku harus berhasil. Untuk mengurai perasaan, setiap hari aku menulis surat untuk Dinda. Walau tak tahu harus kukirim kemana. Karena alamat rumahnya juga tak tahu. Mau kukirim ke alamat kost, infonya Dinda pindah kost. Akhirnya, aku hanya menulis saja dan membiarkan bertumpuk di meja belajar yang kian berantakan. (Bersambung)

Pos Terkait :  Cerpen: Fitri

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles