Minggu, November 17, 2024

Cerpen: Surat untuk Dinda (Bagian 2-Tamat)

Oleh: Hendrika LW

Paris, di awal Februari

Aku sangat percaya padamu, Din. Hanya saja, di hatiku selalu ada kekhawatiran.

Karena aku belajar hukum sebab akibat. Rasanya setiap waktu selalu ada ruang buatmu untuk berubah arah.

Kamu tahu kenapa? Ya, karena kamu ramah dan supel bergaul dengan semua orang. Itu sering membuatku was-was.

Suatu malam, di Asrama

Air mataku terus melelah, membasahi lembar surat ini. Semoga hanya jarak yang memisahkan kita. Aku berharap, kamu masih mencintaiku. Jujur Din, aku menyayangimu. Sayang banget. Aku tak mau kehilangan kamu.

Pagi, di bulan Maret

Ah Dinda, entahlah. Aku selalu terbayang dirimu. Sorot matamu, senyummu, candamu. Teramat sulit untuk kusingkirkan dari kepalaku. Kamu masih ingat, kan? Waktu kita berangkat kegiatan sosial ke desa itu. Bersama Pedro, Caroline, Anggra, Debora, dan Keisha. Hampir saja kita ketinggalan mikrolet. Gara-gara sibuk selfie. Lalu pak sopir memanggil-manggil kita untuk segera masuk. Tak tahu ya, kenapa aku begitu berkesan, ketika berlari mengikutimu.

Kampus, 15 Maret

Setiap kali aku minum teh di pagi hari, aku teringat kembali saat-saat itu. Kita minum teh bareng di kantin dekat kampus. Ngobrol panjang lebar, ke sana ke mari. Ada saja yang diomongin. Seperti tak ada bosannya. Aku juga masih ingat hadiah darimu. Sebatang coklat, yang kau berikan saat ulang tahunku. Bagiku itu amat berharga. Sebuah pemberian dari kekasih, yang telah menaburi malamku dengan selaksa bintang.

Berhari-hari aku bermuram hati. Kadang meneteskan air mata jika teringat dirimu. Rasanya tak ada semangat. Ah, sia-sia saja perjuanganku.

Kepedihan hati ini, mengalir melalui penaku. Sekalipun tumpukan lembaran kusam ini makin berantakan, aku tak peduli.

Pos Terkait :  Cerpen: Langit Jingga di Hati Sarah

Di bawah pohon maple, 2 April

Dinda, aku ingat kata-katamu waktu itu. Semua akan indah pada waktunya. Sebagaimana pertemuan kita yang tak terduga. Seiring waktu, ternyata kita memiliki banyak kesamaan.

Hal yang mengejutkan ketika aku terbangun jam 00.30, di waktu yang sama kamu juga terbangun untuk ke kamar kecil. Saat itu, seperti ada getaran menakjubkan.

Ah juwitaku. Cinta yang selalu menghadirkan permenungan panjang. Aku menyayangimu seperti mentari, yang menyiram daun-daun dengan kehangatan. Kerinduanku adalah, bersamamu dalam bisikan puisi pada seikat bunga bugenvil, yang kau petik dari halaman rumahmu.

Aku sangat menyayangimu. Mungkin lebih besar dari rasa sayangmu padaku. Tahukah kamu, sejatinya setiap aku mengucap kata sayang, di situlah tersirat makna. Aku sedang memeluk pribadimu yang hangat, bersahaja, tulus dan penyayang. Aku ingin tetap memelukmu, hingga malam menyelimuti kita. Lalu fajar mengecup keningku dalam kehangatan.

Aku ingin menitipkan cintaku pada bintang-bintang. Setidaknya untuk malam ini, agar ia melemparkannya untukmu. Dari balik awan dengan senyumnya yang anggun, yang pernah kita tatap bersama. Aku ingin, ia menaburkan kerinduanku, di halaman rumahmu. Agar kamu bisa menjumputinya. Dan menyimpannya di balik bantalmu.

Entah bagaimana. Kamu sungguh bisa memahami jiwaku. Setiap tetes rasa yang mengalir dari hatiku, kau tuangkan dalam goresan-goresan tinta. Terlalu sulit kumengerti. Entahlah. Benar-benar lunglai jiwaku. Senyap. Gelap. Rasanya, lilin yang pernah menyala di hatiku telah padam. Akankah kamu menyalakannya lagi untukku? Agar aku bisa melihat tatapan manjamu dalam keremangan.

Dinda, kecintaanku padamu melebihi nalarku. Sekarang kamu tak lagi sendiri. Aku tak bisa menyalahkanmu. Tapi, terlalu berat bagiku untuk melepaskan dan melupakanmu. Aku tak sanggup.

Pos Terkait :  Cerpen: Dinda

Perasaanku mengalir begitu saja. Merembes ke mana-mana. Seperti anak sungai yang mengalir dari atas gunung. Tumpah ruah. Dan aku tak mampu membendungnya. Entahlah. Aku harus bagaimana. Aku ingin kamu bahagia. Tapi tak sanggup aku kehilanganmu.

Ah Din, andaikan kamu bisa memahami, betapa besarnya rasa sayangku padamu

Senja, Menara Eifel, 10 Mei

Sayangku,

Setiap derap langkah adalah detik waktu yang mencatat nostalgia kita. Tiga tahun berjalan, kita tak ingin menyebut perjalanan ini sebagai kenangan. Karena kita masih ingin merajut hari-hari yang indah. Kita terus mengurai waktu, dalam impian yang sama. Saling menjelajahi hingga ke dalam jiwa dan akhirnya menemukan titik kesamaan. Ternyata kita adalah belahan jiwa. Sejak saat itu, perasaan seperti samudra yang merendam kerinduan, mengalir tiada henti.

Ingatkah kamu, Din? Imaji kita saat itu. Kala senja menjelang. Kita ingin menghias janur kuning bertulis nama kita. Dan setiap orang yang membacanya, ikut melempar senyum, hingga rembulan cemberut.

Akankah kita menapaki jalan, menuju impian itu? Agar esuk kita meneguk kopi bersama yang kau hidangkan dalam senyummu. Aku ingin memelukmu, sayangku.

Semoga suatu saat, entah kapan. Waktu kembali menjodohkan kita untuk menenun cinta ini.

Jika saatnya mimpi itu menjadi nyata, kita kan mengukir malam dengan kehangatan. Aku ingin merangkul candamu, mendekapmu. Ingin kulukis mawar jingga hingga fajar bergulir menuju senja. Aku ingin, tetap menggenggam mawar yang basah itu, oleh rinai semalam.

Ah sayangku,

Mimpi-mimpi yang kau tabur, tak lekang oleh waktu, tetap bersemi, seperti cintaku yang tak akan pernah memudar.

Selasa, di musim gugur

Dear,

Jika aku tak pernah mengenalmu. Entah ke mana kan kukatakan cintaku.

Pos Terkait :  Cerpen: Arina

Aku bahagia terperangkap dalam lesung pipimu dan terbenam dalam kisah-kisah hidupmu, yang sama denganku.

Melalui jalinan ini, kita pun mengambil jalan yang panjang dan berliku. Kadang nyaris padam, api cinta yang telah kita nyalakan tiga tahun silam.

Dalam perjalanan hari-hari selanjutnya, hanya ada cinta yang gemuruh. Hanya ada desah, menggema hingga ke masa depan.

Kekasihku,

Kupersembahkan cinta ini untukmu. Karena kau telah mengijinkan aku, menyusup ke dalam jiwamu, menikmati sejuta rasa dalam napasmu. Berpeluk tubuh laksana melati, berkembang sepanjang musim.

Melihat dirimu dalam foto pernikahan, perasaanku berantakan. Luluh lantak. Berkeping-keping. Aku tak tahan melihatmu, tapi aku ingin memandangmu berlama-lama. Oh Tuhan, kenapa orang yang aku sayangi tak bisa kujangkau?

Aku sangat sedih, Din. Ketika melihatmu, perasaanku seperti tergores-gores sembilu.

Dirimu tampak bersahaja dan natural dalam balutan kain adat itu. Perasaanku perih, kenapa kau menjadi milik orang lain?

Hari itu aku membolos. Stres. Bagaimana tidak? Kekasih yang amat kucintai menikah dengan orang lain.

Serasa langit runtuh. Perasaanku hancur. Berkeping- keping. Hilang sudah harapan dan impianku. Yang kubangun bersamamu, Din. Kamu yang selama ini menjadi motivasiku, pergi begitu saja.

Aku benar-benar lemah. Pikiranku kacau. Hatiku tersobek-sobek. Seperti kertas koran yang telah usang. Kusam.

Dinda, aku masih merasa begitu dekat denganmu. Sangat dekat. Karena kamu belahan jiwaku. Sekali pun ada orang lain, di sisimu.

Ah Din, andaikan waktu bisa kembali.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles