Oleh: Hendrika LW
JIWAKU terpana tertancap sorot matanya. Sukma pun terbang ketika ia menyambut cintaku. Lantas menguap laksana embun. Ia memilih jalan hidup sebagai seorang biarawati.
Aku mengenalnya saat pameran benda-benda pusaka di perpustakaan umum kota Malang. Rupanya perempuan itu pengunjung setia di perpus yang ada di area Ijen Boulevard. Sehingga penjual kantin pun hafal betul dengannya.
Ketika aku sedang mengamati sebuah keris, pandanganku beralih pada perempuan anggun di sebelahku. Aroma melati yang menyebar dari tubuhnya, membuatku kehilangan fokus.
Mataku menyapu dari ujung rambut hingga sepatunya. Merasa kuperhatikan, ia melempar senyum padaku. Oh my God, cantik nian. Pikiranku menerawang pada Renata, gadis pujaan yang telah membuatku patah hati, hingga perasaanku membatu. Kenapa dia mirip sekali?
Hampir dua jam aku berada di ruangan yang terkesan mistis itu. Perempuan itu pun belum beranjak dari benda-benda sakral, yang diwariskan oleh para leluhur.
Aku punya waktu lebih banyak untuk menatapnya. Saat ia keluar, segera aku menyusul, karena tak mau kehilangan. Ia menghentikan langkah, tersenyum padaku. Duh, Gusti.
“Saya Arnold, Mbak.” dia pun menyebutkan namanya. Dewi.
Aku telah jatuh cinta padanya, seorang perempuan yang mampu meluluhkan segala persepsi tentang keakuan.
Perasaanku meleleh. Dewi menyulut cinta hingga membakar sel-sel jiwaku.
“Kak Arnold, doakan aku ya. Bulan depan aku masuk biara.”
Aku tak berdaya, seluruh persendian serasa terlepas dari tubuhku.
“Jatuh cinta adalah tentang luka yang manisnya terpaksa.” aku meninggalkan kota ini, dan tak kembali lagi.