Oleh: Hendrika LW
AKU tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengannya. Setelah sepuluh tahun meninggalkan kampung halaman. Topan, sekarang kelihatan lebih dewasa dan berwibawa.
Pagi ini langit desaku amat cerah. Topan mengajakku bernostalgia. Dengan Benelli Motobinya, dia membawaku keliling, ke tempat-tempat yang dulu pernah kami lalui bersama. Napak tilas, katanya. Hmm, perasaanku belum berubah. Aku masih suka padanya.
Aku terkejut. Lamunanku buyar. Ketika tiba-tiba dia menginjak rem. Berhenti di tikungan flamboyan. Dia menarik tanganku ke pinggangnya. Masih romantis seperti dulu.
Pohon flamboyan ini pun makin besar. Bunganya yang kemerahan berjatuhan di atas rerumputan. Nyiur daunnya melambai, menyapaku yang sudah sepuluh tahun tak kemari.
Topan makin erat menggenggam tanganku. Tatapannya membuat jantungku berdegup kencang.
“Say, aku ingin melamarmu.” Bibirku tak bisa menjawab, karena dia menguncinya.
Kepulanganku kali ini mendekap kerinduan lama. Hari-hariku terasa indah bersama Topan. Biasanya dia main ke rumah setelah pulang kerja.
Siang itu, untuk mengusir rasa bosan, aku iseng menyusuri jalanan kota bersama Honda Jazz milik ayahku.
Mataku terbelalak melihat Topan berdiri di teras rumah kecil, ‘Penyembuhan Lemah Syahwat’, di seberang jalan.
Aku segera menghampirinya. Ia menunduk. Bibirnya gemetar.
“Maafkan aku say, aku…”
Seperti flamboyan di sana. Bunga-bunga mekar sesaat. Lalu layu. Berjatuhan ditiup angin, dan lenyap dalam butiran debu.