Sabtu, Oktober 12, 2024

Cerpen: Langit Jingga di Hati Sarah

Oleh: Hendrika LW

Pagi masih gelap. Halimun tipis turun menyelimuti kota Malang. Rona kehidupan pun mulai menggeliat. Sementara aku terpanah oleh penyesalan diri.

Sebenarnya masih melekat dalam benakku, nasihat orang bijak, di dunia ini tak ada hal yang betul-betul sempurna. Di balik kelebihan ada kekurangan. Di sisi kekurangan ada kelebihan.

Dalam kondisi apapun kita mesti bersyukur. Karena masih merasakan denyut nadi, yang mengalirkan berjuta harapan.

Kekurangan yang ada bukan alasan untuk tidak bergerak melanjutkan kehidupan, yang terus berjalan bersama sang waktu.

Kelebihan juga tidak mesti menjadikan seseorang beria-ria di atas kelemahan orang lain. Menjadi besar kepala atau membusungkan dada.

Kalimat itu sulit kupahami. Karena setiap hari aku hanya bergulat dengan batinku sendiri. Antara mesti bersyukur atau menghujat kehidupan yang kurasa tidak adil. Mengapa aku harus terlahir seperti ini? Apa salahku? Apakah ini sebuah hukuman, atau reinkarnasi yang menimpaku.

Berderet deret pertanyaan selalu menghinggapi pikiranku. Seperti langit yang ikut melukis nasib, membuat perasaanku makin mengharu biru.

Pertanyaan itu semakin sarat mengisi kepalaku ketika aku beranjak remaja. Di saat aku mulai bisa merasakan penolakan teman-teman dan orang-orang di sekitar. Duh, rasanya seperti selaksa sembilu mengiris-iris hatiku.

Gelegar petir menyambar. Bersahutan. Menikam sepenggal rasa yang terus memrotes pada sang Pencipta.

Langit pun semakin deras mengucurkan hujan hingga menerobos atap rumah. Aku semakin tak kuasa menahan tangis.

Lembar demi lembar diaryku basah. Sama basahnya dengan lembaran hatiku. Perih. Tapi aku tak ingin menampakkan di hadapan orangtuaku. Karena aku tahu, mereka sudah bermandi peluh setiap hari. Namun tak pernah kudengar keluh kesahnya.

Aku pun tak ingin menunjukkan kerapuhanku di depan orang lain. Aku harus tampak tegar, seperti batu karang, meski pun kadang hanya kamuflase saja.

Pos Terkait :  Cerpen: Surat untuk Dinda

Mengapa? Aku tak ingin mereka meremehkanku. Aku harus tegas pada diriku, berusaha mandiri dan bisa “berdiri” sejajar dengan teman-temanku.

Waktu terus saja bergerak, seolah tidak mau berkompromi dengan keterlambatanku. Hingga aku tertatih-tatih mengejarnya.

Sementara angin hanya berbisik di antara gemersing rumpun bambu. Untuk pertanyaanku alam tak pernah memberi jawab. Semua dibiarkan berlalu, menyusup dalam ranting-ranting yang rontok, berserakan.

Entahlah! Apakah ia tak mengerti pesan Ilahi padaku? Ataukah ia memang merahasiakannya, dan aku harus menemukan sendiri, jawaban yang aku cari? Sesaat aku terdiam, dan membiarkan butiran mutiara mengaliri wajahku.

Malam itu, langit terang benderang. Rembulan tak terhalang oleh apa pun. Sehingga aku bisa memandangnya dari balik jendela kamarku. Ya, aku berlama lama memandanginya.

Ia adalah sahabatku yang tersisa dikala orang-orang terlelap dalam peraduan. Bulan adalah tempat aku mengadu. Bercerita tentang hidupku, tentang perasaanku, tentang beban hatiku, dan tentang semuanya.

Oh, rembulan. Senyumanmu membawaku ke luar di pelataran. Meski hanya duduk saja. Aku bisa menikmati cahaya alam, yang membuatku seperti berada dalam negeri impian.

Oh bulan, kau seperti telah mengambil semua beban batinku. Hingga aku merasa begitu lapang.

Bunga wijaya kusuma pun bermekaran di samping teras, seakan ikut merasakan gairah hidupku. Aroma mewangi semerbak. Menambah eksotika malam kian syahdu. Hingga membuat air mataku kering seketika.

Hatiku sungguh berbunga-bunga. Mekar seindah wijaya kusuma, yang disebut-sebut orang sebagai kembang keberuntungan.

Ya, sekarang aku merasa beruntung. Karena masih bisa melihat keelokan bulan, keindahan langit dan kerlap kerlip bintang di atas sana.

Lalu, apakah aku masih harus menyimpan marah kepada alam? Sedangkan langit jingga selalu hadir, menyuguhkan cerita-cerita indah untuk hari-hariku.

Pos Terkait :  Cerpen: Flamboyan

“Ya Tuhan, terima kasih. Takkan ada lagi rasa sesal di hati, karena Engkau begitu menyayangiku.”

Tanpa terasa air mata membanjiri kursi rodaku. Sungguh, kini rasa syukur memenuhi jiwaku. Aku bersyukur. Aku masih diberi nafas kehidupan, hingga usiaku 17 tahun. Bilangan terindah, sweet seventeen.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles