Minggu, November 17, 2024

Cerpen: Ratmi

Oleh : Hendrika LW

Aku kehilangan harapan hidup, sejak nasib mengubahku menjadi seorang disabel.

Saat berusia 14 tahun, aku bekerja sebagai asisten rumah tangga. Kondisi ekonomi orangtua memaksaku putus sekolah dan mengadu nasib ke kota besar.

Betapa beruntungnya aku. Melalui mbak Yutik yang juga bekerja di sana, aku mendapatkan majikan di sebuah perumahan elite. Setidaknya aku bisa menikmati ‘kehidupan mewah’ yang baru kurasakan seumur hidupku.

Sekalipun majikan sangat cerewet dan membingungkan, karena perintahnya bermacam-macam dalam sekali tempo, aku berusaha sabar dan manut saja. Kupikir, namanya juga majikan. Dia berhak melakukan apa saja pada pembantu. Menyuruh-nyuruh dan marah-marah itu biasa, kan dia yang punya uang dan membayar gajiku.

Sesederhana itu yang kupikirkan, yang penting aku dapat uang. Demi membantu keluarga di kampung supaya bisa hidup lebih layak. Juga untuk biaya adik-adikku agar mereka tidak mengalami putus sekolah sepertiku.

Nyonya majikan seorang sosialita. Koleksi barang-barang mewahnya memenuhi ruangan, yang berada di sebelah aquarium arwana kesayangannya. Merawat barang mewah itu adalah salah satu pekerjaan yang membuatku sangat berhati-hati.

Hari itu nyonya pergi ke Singapore. Hanya tuan yang ada di rumah. Seperti biasa, aku membereskan kamar majikan. Tak ada firasat apapun. Tiba-tiba tuan masuk mendekapku. Mulutku tak mampu berteriak. Kehormatanku lenyap seketika. Tuan mengancam akan membunuhku bila aku melapor.

“Ya Tuhan, aku hanya bisa mengadukan semua ini, kepadaMu.”

Aku semakin takut. Tuan melakukannya setiap ada kesempatan. Aku harus bagaimana? Di satu sisi aku masih butuh pekerjaan, di sisi lain aku terintimidasi oleh keadaan.

Sore itu, nyonya marah besar. Nyonya mengambil pisau. Serta merta melemparkannya ke arahku. Sadar-sadar, aku terbaring di rumah sakit. Perutku diperban, perih rasanya.

Pos Terkait :  Cerpen: Dewi

Entah untuk apa, nyonya yang membezukku siang itu, memaksaku minum obat yang bukan dari dokter. Dalam hitungan menit, seluruh tubuhku lemas. Lunglai. Aku tak berdaya. Menggerakkan jari-jari kaki saja rasanya tak mampu.

“Ya, Tuhan. Apa salahku? Kenapa aku mengalami semua ini?”

Beberapa hari setelah lukaku hampir mengering, aku dipulangkan ke kampung. Sontak, keluargaku shock. Ibu tak sadarkan diri, melihatku berada di kursi roda. Aku tak mampu menjelaskan apapun. Suaraku rasanya tercekat dalam mulutku yang perot.

“Oalah, Nak, kenapa kamu jadi begini?” tangis keluargaku kian menjadi-jadi.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Selain menangis melihat keluargaku yang kehilangan harapan.

Jangankan bekerja. Menggerakkan tangan saja aku tak mampu.

“Ya, Tuhan, tolonglah. Aku percaya keajaibanMu.”

Tak kusangka-sangka, pagi itu malaikat penolong sungguh datang.

“Ratmi, belajar ikhlas memaafkan, ya.” Suster memelukku dan membawaku ke panti.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles