SURABAYA – Sebuah peristiwa politik penuh kejutan terjadi pada akhir minggu ini, hal mana dengan sangat cepat Partai Nasdem dengan PKB berkoalisi dan langsung mendeklarasikan Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar sebagai capres dan cawapres untuk 2024 mendatang.
Begitu cepatnya dari dipinang sampai dideklarasikan terkait peristiwa itu terjadi, sehingga Nasdem pun merasa tidak perlu untuk mendiskusikan dengan Demokrat dan PKS, yang telah setahun menjadi teman koalisi mereka di Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Berbagai drama terjadi, Demokrat yang merasa dikhianati langsung meradang dan keluar dari koalisi, juga sampai minta nama ‘Perubahan’ tak diperkenankan dipakai karena dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Bagaimana tidak, karena baru seminggu sebelumnya Anies Baswedan meminta Ketum mereka AHY untuk mengayuh bahtera mengarungi Pilpres 2024.
Ajakan yang tidak saja dengan kata-kata tapi juga disertai sepucuk surat, yang menjadi bukti penghancur hati dari ‘Sang Cawapres Flamboyan’ kepada anak muda dari mantan Presiden keenam.
Suasana hati AHY, diyakini amat luluh lantak. Sakit yang diberikan teramat dalam.
Tidak hanya cerita sakit pengkhianatan dan janji-janji manis, ternyata deklarasi Anies-Muhaimin itu juga terjadi di bawah bayang-bayang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sang pengantin yang menggantikan posisi anak muda penuh talenta untuk bersanding bersama Anies, ternyata berpeluang untuk diperiksa dalam sebuah kasus korupsi.
Kasus korupsi pengadaan software di Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), yang sudah naik dalam tingkat penyelidikan dan menetapkan 3 orang tersangka, yakni 2 orang ASN di Kemenaker serta 1 orang pihak swasta.
Usut punya usut, ternyata kasus penyelewengan anggaran itu terjadi saat Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan bahkan KPK juga sudah menyebut kemungkinan untuk memeriksa Sang Menteri.
Nah, kok di bawah-bawah bayang-bayang pemeriksaan oleh KPK itu ada deklarasi yang terburu-buru?
Pengamat Politik Citra Institute, Efriza, berharap bahwa itu semua tidak ada kaitan, walau susah untuk memalingkan perhatian dari rangkaian peristiwa itu.
“Semoga saja deklarasi itu bukan karena cepat-cepatan ya, karena kita lihat sangat terburu-buru. Deklarasi di Hotel Majapahit Surabaya itu sepi-sepi aja, itu bukan gaya Cak Imin dan PKB. Cak Imin kalau ‘show’ biasanya selalu heboh dan rame, apalagi penantiannya sudah lama sampai utak-atik nama dirinya untuk personal branding, masa sih untuk acara sepenting ini hanya seperti itu,” heran Efriza disampaikannya dalam keterangan tertulisnya, (3/9/2023).
Keheranan Efriza itu kemudian dikaitkan dengan kencangnya informasi rencana pemeriksaan Muhaimin oleh KPK pada minggu depan.
“Kalau memang ada rencana pemeriksaan, KPK tetap lanjutkan saja. Jangan takut nanti dibilang kriminalisasi atau penzaliman, karena kasus ini lebih dulu terbongkar daripada terbongkarnya ‘kawin’ buru-buru itu. Jangan sampai narasi-narasi dikriminalisasi, dijegal dan lain-lain itu menjadi senjata untuk menghindari hukum, hingga membuat KPK ciut nyali. Sebaliknya KPK harus berani tegakkan hukum dan ini pembuktian kepada Publik terkait kriteria 0 dari Anies,” sambung Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Supomo, Serang tersebut.
Efriza juga meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum oleh KPK, jangan buru-buru menganggap itu sebagai kriminalisasi atau penjegalan. Ingat, pengusutan kasus tersebut sudah berjalan lama, yang buru-buru itu adalah deklarasi Anies-Muhaimin.
“Bagi saya yang jadi perhatian adalah deklarasi buru-buru, karena acara sepenting itu. Kalau soal kasus atau pemeriksaan Cak Imin, kan memang kasusnya sudah lama berjalan,” imbuh Efriza.**