Minggu, November 17, 2024

Merdeka dari Caci Maki

Oleh: Dr. Sutrisno, Dosen, Tim Pendiri Asosiasi Dosen Agama Budha Indonesia (ADAB)

PADA abad ke 17-18 ketika kolonial Belanda bercokol di Indonesia, caci maki sudah menjadi bagian dari pembeda sosial. Anak-anak orang Eropa yang diasuh orang pribumi turut mempelajari Bahasa Melayu dan Portugis, sehingga ketika pengasuhnya tidak menuruti perintahnya, maka akan muncul makian seperti “pelacur jelata, anak pelacur, anak anjing, bahkan terkadang lebih buruk dari itu”. Selanjutnya, makian di depan umum yang tabu itu sering menjadi bukti di pengadilan, karena makian kerap menjadi sumber perkelahian. Korelasi makian dan perkelahian yang berujung di pengadilan Belanda ini ditulis Achmad Sunjayadi dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara (2018). Dalam potret yang lebih besar, bahkan kolonial Belanda menempatkan pribumi sebagai objek makian. Istilah “inlander” (pribumi–berkonotasi penghinaan, sebab di hampir setiap tempat hiburan dan kolam renang tuan “Meneer Belanda” dengan mudah ditemukan pengumuman honden en inlander verboden–anjing dan pribumi dilarang masuk!).

Caci maki berarti kata-kata kotor (tidak sopan) yang dikeluarkan untuk mengumpat seseorang; kata-kata makian (sebagai penghinaan); celaan; cercaan; nistaan; dampratan; maki-makian. Di muka bumi ini, sedikit sekali manusia yang bisa menikmati cacian, sehingga dapat dipastikan bahwa caci maki berdampak buruk pada kesehatan mental korban dan dapat merusak harmoni dalam relasi sosial manusia. Menyadari ini, hampir semua peradaban mengenal istilah “mulutmu harimaumu”, “lisan lebih tajam daripada pedang”. Ini semacam pengingat bahwa kata-kata mengandung dualisme, yaitu jika digunakan dengan bijak akan bermanfaat, sebaliknya jika digunakan secara serampangan, seperti caci maki, maka akan membawa mudarat. Dalam metafora, ada ungkapan, “ucapan yang baik bagai bunga teratai yang keluar dari mulut. Sedangkan ucapan yang buruk, seperti bisa ular yang disemburkan dari mulut”.

Di era Society 5.0 yang konon merupakan fase peradaban tertinggi saat ini, yaitu ketika manusia dikonsepkan hidup nyaman dalam menggunakan teknologi, justru terjadi kontradiksi dalam keadaban memandang orang lain. Para tokoh publik dan orang lain sering dipandang hanya sebagai objek, bahkan mungkin disamakan dengan barang, sehingga mudah dijadikan objek penghakiman. Perspektif yang sama sering digunakan untuk menyerang kelompok yang berlawanan. Istilah cyber bullying, perang komentar, gaslighting atau sejenisnya yang menjurus pada emotional abuse semakin hari semakin marak. Survei APJII tahun 2020, menunjukan bahwa 49% pengguna internet mengaku pernah dirundung. Fenomena ini seperti gambaran suram dalam Zaman Kaliyuga, yaitu dimana-mana muncul “keong lurik” atau bekicot (sak kebeking cocot), yang bermakna di mana-mana mudah dijumpai orang mengumbar kata secara tidak bertanggung jawab.

Pos Terkait :  Menduetkan Ganjar-Prabowo Bukan Pilihan Bijak

Sesuai preposisi caci maki berkorelasi dengan perkelahian, maka semakin banyak caci maki akan semakin besar potensi konflik terjadi. Fenomena ini tentu tidak normal, sehingga caci maki tidak bisa dinormalisasi atas dalih kebaikan seperti yang sering terdengar seolah menjadi bagian esensial dari demokrasi. Pembukaan konstitusi Indonesia secara terang menyebutkan bahwa yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan itu sebangun dengan penjajahan yang harus dihapuskan. Membiarkan caci maki berkembang di mana-mana, sama saja dengan melestarikan penjajahan, yang berarti memperlambat nuansa Merdeka 100%.

Terlanjur Salah Kaprah

Alam demokrasi yang dirasakan Indonesia sejak era Reformasi menjadi ruang tumbuhnya kesadaran publik untuk menyuarakan aspirasinya. Dalam konteks demokrasi, pemerintah dan rakyat memang secara terbuka membentuk sistem politik. Artinya, kebijakan-kebijakan pemerintah tidak bisa dibuat sembarangan tanpa memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Konteks aspirasi ini adalah bonum commune, yaitu kebaikan bersama yang mengikat anggota masyarakat. Secara jelas ini tercantum dalam konsesus utama bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI.

Oleh karena itu, demokrasi yang selalu dilekatkan dengan kebebasan berbicara (freedom of speech), sebenarnya harus diletakan dalam konteks kepentingan bersama, bukan dalam rangka menyuarakan perasaan tersaingi, terabaikan, tidak nyaman atau akumulasi emosi secara egoistik. Di sisi lain, demokrasi itu menuntut kedewasaan dalam bersikap. Akar ini bisa ditilik sejak zaman Socrates (399SM) di Yunani. Pada masa itu, pemerintahan yang demokratis memungkinkan warganya kuat dalam pemikiran melalui perdebatan. Masyarakat tidak sembarangan berbicara, sebab setiap pembicaraan ditujukan untuk mencapai eudaimonia (kesempurnaan yang didapatkan karena jiwa dalam keadaan yang baik). Untuk mencapai eudaimonia, orang harus menguasai Tridvium (tata bahasa, retorika dan logika) dan Quadrivium (Matematika, Geometri, Astronomi, dan Musik). Tujuan akhirnya adalah menjadi filsuf atau menjadi sosok ideal (paidea) yang dicirikan: pemberani, moderat dan adil. Bahkan puncak prestasi manusia digambarkan dalam peran Guardian (raja-filsuf) yang mampu memerintah, berintegritas dan memiliki pengetahuan luas. Inilah wajah kedewasaan yang bernuansa humanis atau kehidupan yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia merupakan pusat kehidupan.

Pos Terkait :  Stok Beras di Kota Kendari Aman hingga Idul Fitri

Para Pendiri Bangsa sudah sangat bijak memformulasikan sistem pemerintahan Indonesia dalam pijakan nomokrasi dan demokrasi. Dalam kerangka ini, kebebasan bersandar pada aturan main, agar tidak menciptakan kemunduran demokrasi atau pembusukan kekuasaan. Sementara aturan main disusun dengan dasar kebebasan agar terhindar dari tekanan-tekanan kekuasaan yang tidak perlu. Masalahnya, pengalaman berdemokrasi Indonesia sejak 1998 menunjukan lemahnya praktik budaya demokrasi.

Kini, di usia Kemerdekaan Indonesia yang ke-78 sudah saatnya perilaku berdemokrasi warga negara berwajah lebih substantif dan produktif. Pemerintah dan rakyat saling menunjukan tanggung jawab sebagai sistem politik yang sehat. Pemerintah harus responsif dan aspiratif, sehingga kekecewaan masyarakat tidak terakumulasi, yang kerap terekspresikan dalam caci maki. Sebaliknya, rakyat bisa memanfaatkan berbagai jalur aspirasi dengan kesiapan berdialog secara argumentatif sambil menyajikan solusi alternatif. Masyarakat yang sering disebut cerdas, mestinya nama lain dari bijaksana. Kebijaksanaan adalah modal demokrasi Indonesia, sehingga ada istilah “Kebijaksanaan adalah sebuah pohon yang tumbuh bersemi di hati dan berbuah di lidah”. Sebaliknya, kurangnya kebijaksanaan hanya membawa kegaduhan yang nirmanfaat. Adagium yang tepat untuk ini adalah, “Masalah terbesar orang dengan pikiran sempit adalah mulut mereka selalu terbuka lebar”.

Kembali ke Indonesia

Di momentum hari lahir negara-bangsa Indonesia ini ada baiknya kita berefleksi pada peristiwa mahapenting tersebut. Ketika itu hari Jum’at di Bulan Ramadhan, tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, membacakan teks proklamasi di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta dalam nuansa resmi yang khidmat. Pembacaan teks proklamasi itu sendiri hanya berlangsung sekian detik. Tempo yang sesingkat-singkatnya itu telah mengubah status bangsa Indonesia dari terjajah menjadi bangsa merdeka. Terdapat banyak pejuang-pejuang di daerah yang gembira sekaligus terkejut karena keadaan telah berbalik drastis. Mereka harus mulai membiasakan mengalihkan kata-kata peyoratif kolonial dalam konteks yang tepat. Hindia-Belanda harus diganti dengan “Indonesia”. Kata “penjajah” harus digeser dengan pekik “Merdeka”. Kata makian “inlander”, harus diganti dengan “teman-teman seperjuangan dan setanah air”.

Sejak dahulu, nenek moyang bangsa Indonesia memang memiliki kearifan untuk meningkatkan mutu peradaban. Pilihan mereka untuk bangkit dan berbuat sesuatu dengan modal kemerdekaan itulah yang disebut “Merdeka untuk”. Sementara, kebebasan mereka dari penindasan kolonial atau wajah kelam peradaban, itulah yang disebut “Merdeka dari”. Caci maki adalah ekspresi penjajahan, maka sudah saatnya ditinggalkan sebagai sebuah bangsa yang beradab, sehingga istilah yang tepat adalah “Merdeka dari caci maki”. Sebagai konsekuensi sebaliknya, maka tidak ada “Merdeka untuk” mencaci-maki. Kritik yang wajar di alam merdeka, tidak bisa disamakan dengan caci maki, sebab di dalam kritik ada motivasi kebaikan bersama, sementara dalam caci maki terbesit ketidaksopanan sebagai penghinaan.

Pos Terkait :  Prabowo Pemimpin Otentik, Bukan Pemimpin Plastik

Bangsa Indonesia memiliki pujangga dan tokoh dengan jiwa-jiwa besar yang bisa dijadikan panutan dalam menyikapi perbedaan sikap, kondisi dan kebijakan. Sekedar contoh, Soekarno dan Hatta, tidak selalu sejalan dalam pandangan politik. Namun, dalam hubungan pribadi mereka adalah sahabat yang berkelas. Bung Hatta, pernah mengkritik kebijakan demokrasi terpimpin Soekarno dengan menulis buku “Demokrasi Kita”. Cara ini dianggap legendaris dari seorang negarawan. Pada bagian lain, Soekarno dengan Natsir atau dengan Ahmad Hassan pernah berdebat sengit melalui tulisan berkualitas tentang relasi agama dan negara. Mereka saling kritik dan serang secara pemikiran, tetapi dalam kapasitas sebagai pribadi mereka saling menghormati.

Masih ada cara lain yang lebih elegan jika bangsa ini mau “Merdeka dari” caci maki, yaitu beraspirasi dan berdialektika dalam humor. Kearifan ini tidak bisa dipandang enteng. Pada dinding relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, dijumpai salah satu relief yang menggambarkan pemusik jalanan dan seseorang yang menampilkan sebuah gerakan unik. Orang-orang yang berada di depannya pun tampak tertawa. Sangat mungkin, itu adalah ekspresi humor di masa itu. Bahkan kesenian Ludruk di masa perjuangan adalah alat membangkitkan nasionalisme melawan Jepang. Masih ada lagi, jenius humor sekaligus guru bangsa Gus Dur, sering menyajikan humor sebagai Pereda ketegangan politik. Gus Dur pernah berucap, “Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat”.

Ada banyak cara untuk menyuarakan hati nurani, dengan inspirasi keindonesiaan yang bisa menjadi warisan keadaban anak zaman ke depan. Ekspresi sehat dalam beraspirasi hanya dimungkinkan jika tumbuh kedewasaan “Merdeka dari” caci maki, kebohongan, fitnah, dan kata kasar. Semoga kedewasaan bangsa Indonesia membuat bangsa ini melaju cepat untuk maju. Merdeka. (*)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles