Oleh Hananto Widodo
PERNYATAAN Jokowi untuk menghormati kewenangan masing-masing lembaga negara, jika dilihat secara polos, maka terkesan kalau Jokowi netral dengan hiruk pikuk terkait skenario Baleg DPR yang akan merevisi UU Pilkada yang isinya menolak sebagian putusan MK.
Sebagaimana kita ketahui, beberapa hari yang lalu publik mendapatkan secercah harapan terkait masa depan demokrasi Indonesia pasca keluarnya putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024. Putusan MK No. 60 berisikan kelonggaran threshold bagi parpol untuk mengajukan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sedangkan putusan No. 70 berisikan terkait batas syarat minimal Calon Kepala Daerah dan Wakil Daerah.
Begitu kedua putusan MK itu dibacakan oleh MK, pada saat itu juga Baleg DPR langsung menindaklanjuti kedua putusan MK tersebut. Namun ironisnya, tindak lanjut terhadap kedua putusan MK tersebut justru memantik reaksi publik dan publik yang menolak sebagian melakukan aksi demonstrasi untuk menolak revisi terhadap UU Pilkada.
Reaksi public terkait sikap Baleg DPR bukan karena itikad dari Baleg yang menindaklanjuti kedua putusan MK tersebut, tetapi karena Baleg DPR akan melakukan revisi yang tidak sesuai dengan isi dari putusan MK. Publik melihat bahwa Langkah Baleg DPR yang tiba-tiba melakukan revisi tidak sesuai dengan kedua putusan MK ini yang membuat public prihatin.
Sekilas nampaknya langkah dari Baleg DPR memang terkesan mendadak dalam melakukan revisi terhadap UU Pilkada, tetapi sebenarnya langkah Baleg ini tidaklah mendadak. Langkah Baleg dalam melakukan revisi terhadap UU Pilkada ini sebenarnya merupakan skenario yang mereka rancang sebelumnya. Ketika terkait syarat batas minimal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ini diuji ke MK, maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi.
Kemungkinan pertama, MK akan menolak permohonan dari pemohon. Jika MK menolak permohonan dari pemohon, maka dapat dipastikan DPR tidak akan bereaksi. Mereka pasti akan mendukung sepenuhnya putusan MK tersebut.
Kemungkinan kedua, MK mengabulkan permohonan pemohon baik sebagian atau seluruhnya. Ketika MK mengabulkan permohonan pemohon, maka DPR akan melakukan langkah dan langkah ini kemungkinan sudah dirancang sebelumnya.
Bagaimana dengan pernyataan Jokowi agar menghormati masing-masing kewenangan lembaga negara ? Pernyataan Jokowi ini pasti sesuai dengan konteks putusan MK dan revisi UU Pilkada yang sedang dilakukan oleh DPR. Publik langsung curiga kalau pernyataan Jokowi ini merupakan bentuk dukungannya kepada DPR.
Kecurigaan publik ini terkait dengan dua isu besar yang mengiringi kedua putusan MK dan rencana terhadap revisi UU Pilkada ini. Kedua isu besar ini adalah terkait dengan semakin terbukanya pencalonan Kepala Daerah akibat dari kelonggaran threshold yang diberikan oleh MK. Kelonggaran threshold ini berimplikasi pada majunya rival politik dari parpol pendukung pemerintah. Isu besar lainnya adalah terkait dengan terancam gagalnya Kaesang Pangarep untuk maju sebagai Calon Gubernur atau Wakil Gubernur.
Berdasarkan pada dua isu besar yang mengiringi revisi UU Pilkada, apakah kecurigaan public bisa dibenarkan jika Jokowi memberikan dukungan kepada DPR untuk melakukan revisi terhadap UU Pilkada ? Untuk menjawab itu, maka kita akan merujuk pada konstitusi kita, yakni UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan siapa yang berwenang membentuk UU.
Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kewenangan membentuk UU ada di tangan DPR. Namun yang harus dipahami bahwa dalam proses pembentukan UU, DPR tidak bekerja sendirian. Artinya dalam proses pembentukan UU juga melibatkan Pemerintah. Bahkan suatu RUU tidak akan menjadi UU jika tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah. Oleh karena itu, jika revisi terhadap UU Pilkada itu sudah akan dibahas dalam rapat paripurna, maka dapat dipastikan itu merupakan tahapan krusial dalam proses pembentukan UU.
Jadi akan sangat aneh jika Jokowi meminta untuk menghormati kewenangan masing-masing lembaga negara. Kalau memang Jokowi bijak, maka Jokowi akan mengatakan kalau dirinya akan menghormati putusan MK. Dan jika dalam rapat paripurna yang merupakan forum untuk memberikan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, maka seharusnya Jokowi menolak revisi dari UU Pilkada jika Pasal-Pasal dari revisi UU Pilkada tersebut bertentangan dengan putusan MK.
Berdasarkan informasi yang berkembang bahwa rapat paripurna DPR akan diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 2024. Jika dalam rapat paripurna sebagian besar fraksi di DPR setuju atas revisi UU Pilkada yang kontroversial tersebut dan Pemerintah juga memiliki pandangan yang sama, maka dapat dipastikan kecurigaan public terkait dengan keterlibatan Pemerintah dalam merancang skenario revisi UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK ini terbukti.
Setelah RUU mendapatkan persetujuan bersama antara Pemerintah dan DPR, maka penentunya sekarang ada di tangan Presiden. Karena tahapan setelah persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah adalah pengesahan yang akan dilakukan oleh Presiden. Dalam melakukan pengesahan ini, Presiden diberi waktu 30 hari. Jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama ini, maka RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Presiden memang tidak punya hak untuk menolak mengesahkan suatu RUU. Namun revisi UU Pilkada secara momentum bersamaan dengan waktu pendaftaran pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dimulai pada tanggal 27 Agustus 2024. Sehingga jika pada tanggal 27 agustus 2024, revisi UU Pilkada ini disetujui bersama dan pada tanggal 29 Agustus 2024 Presiden mengesahkan, maka Presiden memang berkehendak agar proses revisi terhadap UU Pilkada ini lancar.
Jika seandainya Presiden tidak bersedia mengesahkan RUU tentang revisi UU Pilkada, sehingga lewat 30 hari RUU itu baru dinyatakan sah, maka waktu pendaftaran pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah lewat. Dan apabila Kaesang Pangarep berniat untuk mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, maka dapat dipastikan Kaesang tidak memiliki dasar hukum untuk bisa maju sebagai Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, karena revisi UU Pilkada belum disahkan dan diundangkan.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Koordinator Konsentrasi Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya.Â