Oleh: Hendrika LW
Setiap hari turun hujan, kolam ikan di belakang rumah terisi penuh. Tak seperti kala kemarau, Fitri repot mengisinya dengan air sumur. Hari ini Fitri asyik memberi makan nila, yang dipeliharanya sejak pandemi merebak. Mumpung kuliah libur, dihabiskan waktu paginya di gazebo bambu atas kolam. Guratan keceriaan begitu kentara, membuat wajah ovalnya semakin berseri.
“Pagi yang indah”, gumam Fitri saat melintas bayangan Arman. Sudah beberapa hari Fitri tak menelpon sahabat yang biasanya diajak bertukar pikiran. Ada rasa kangen bercampur cemburu. Sebenarnya sih ada sesuatu yang ingin diceritakannya, tapi Fitri memutuskan untuk memendamnya sendiri. Karena dia pikir, tak ada gunanya untuk diceritakan. Biasa, bualan mantan-mantannya, yang seperti sampah.
Sore itu Fitri kembali mengutak-atik gitarnya, yang hampir satu bulan tidak disentuh. Dibukanya selembar kertas kumal, beberapa akord yang diajarkan Arman. Kaget, Oppo biru di meja belajarnya berdering. Buru-buru ia menyambar. “Arman”, bisiknya. Sapaan hangat dan percakapan terus mengalir. Fitri mulai membuka cerita yang lama disimpannya, pada Arman, sahabat yang dianggapnya super baik. Lega rasanya. Namun tak disangka, Arman justru shock mendengar semuanya.
Seharian Arman tak bisa makan. Linglung. Gemetar. Perasaannya kacau. Arman menyalahkan dirinya sendiri. Cinta dan cemburu yang begitu mendalam, membuatnya bisa meneropong apa pun yang terjadi pada diri Fitri. Oh my God, Fitri.