JAKARTA – Meski Ganjar-Mahfud kalah di pilpres, PDIP berpotensi menang tiga kali atau hattrick dalam pemilihan legislatif (pileg). Ini berdasarkan quick count atau hitung cepat sejumlah lembaga survei.
Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza, mengungkapkan bahwa meski keinginan PDIP untuk mewujudkan hattrick memimpin tiga periode di pemerintahan sudah terkubur. Namun, PDIP tetap sebagai partai pemenang di parlemen.
Menurut Efriza hal ini dikarenakan masyarakat mulai mengkoreksi PDIP, karena hubungan buruk antara Jokowi sebagai kader dengan PDIP sebagai tempat ia bernaung dan terpilih sebagai presiden terpilih dua periode.
“Masyarakat jengah dengan sikap jumawa PDIP, yang terkesan mengatur masyarakat, padahal masyarakat yang punya hak pilih, mereka yang mengatur PDIP. Sikap masyarakat di Pilpres adalah menunjukkan rakyat berkuasa, mereka tak suka partai yang tinggi hati karena dua kali berhasil memerintah, makanya rakyat seolah ingin bilang dari hasil pemilu 14 Februari, bahwa Ganjar-Mahfud bukan pilihan masyarakat artinya PDIP dihukum oleh masyarakat,” ucap Efrizal, Jumat (16/2).
Namun lanjut Efriza, nasib PDIP masih baik, tidak seperti Partai Demokrat di 2014, Partai Demokrat sudah tak memerintah juga terlempar dari posisi peringkat pertama, dan sekarang hanya jadi partai semenjana.
Kemenangan PDIP di parlemen karena caleg PDIP bekerja dengan baik, kader yang solid bergerak disimpul-simpul masyarakat dan berbaur dengan masyarakat. Mereka yang petahana juga dinilai hasilnya memuaskan oleh masyarakat.
“Bukankah Ganjar juga berbaur dengan masyarakat? Jelas beda, Ganjar itu terlihat emosional, masyarakat jengah Ganjar terus mengkritik Prabowo juga terus menyerang pemerintah, padahal Jokowi ya pemerintahan PDIP. Keinginan berkuasa Ganjar terlalu tinggi, dengan tingkat emosi tinggi pula, apalagi Ganjar terkesan ingin menyajikan dirinya capres intelektual – berkualitas – flamboyan,” terangnya.
Di satu sisi masyarakat juga merasa prestasi Ganjar tidak begitu istimewa, ia berbaur dengan masyarakat hanya untuk kepentingan sesaat. Ini semua disinyalir menjadi penilaian dari ketidakpilihan terhadap Ganjar. Bagi masyarakat bahwa Ganjar tak layak menjadi presidennya rakyat, menunjukkan rakyat meragukan kepemimpinan Ganjar, sikap arogan Ganjar, emosionalnya, itu juga yang membuat masyarakat menolak memilih Ganjar, dan menunjukkan “penghakiman” terhadap PDIP, karena PDIP dianggap kurang cermat dalam memilih capres yang tak pantas dalam penilaian masyarakat, itu pesan dari ketidakpilihan masyarakat terhadap pasangan capres-cawapres Ganjar-Mahfud.
“Sedangkan caleg-caleg PDIP berbeda, mereka mendekat kepada masyarakat, para calegnya berkegiatan memperlihatkan pilpres boleh panas, tetapi para calegnya bercengkrama hangat dengan masyarakat menyampaikan gagasannya, tentu saja bahasanya lebih santun, bijak, mengajak, bukan seperti komunikasi politik Ganjar yang seolah hanya tahunya “nyeruduk saja”, pungkas Efriza. **